Profil Pendahulu

Guru Suci pertama pada zaman pancaran putih, marganya adalah Lu, nama beliau adalah Cung I lahir di Ci Ning, propinsi San Tung, China, pada tahun masehi 1849 bulan 4 tanggal 24 imlek, adalah titisan Buddha Maitreya, merupakan Guru generasi ke 17 pada zaman timur periode ke dua. Sewaktu masih kecil beliau sudah kehilangan kedua orang tua, bersama adik perempuan tinggal di luar kota yang berjarak 5 mil dari batalyon tentara. Tempat tinggalnya terbuat dari rumput kering dan tanah (gubuk) dan hidup dalam keprihatinan, setiap hari bekerja, dengan pakaian yang sangat sederhana (kasar dan robek), kehidupannya sangat susah.

Di saat berumur 22 tahun, pemerintah membuka lowongan bagi rakyat untuk masuk tentara dan membagikan uang santunan bagi keluarganya, sehingga beliau langsung pergi mendaftarkan diri untuk masuk tentara dibatalyon kecil. Pada awal tahun 1896, tiba-tiba “Tuhan memberikan petunjuk”, selama tiga malam berturut-turut BUNDA SUCI memberikan pesan kepada beliau melalui mimpi sebagai berikut: “Cepatlah pergi ke San Tung, tempat Kakek Ching Si (yang dimaksud adalah Guru Suci generasi ke 16 Liu Ching Si, beliau adalah orang Ching Chou, I Tu, menerima Firman pada tahun 1887) untuk memohon Tao, jangan terpikat pada hal-hal duniawi”. Keesokan hari, Kakek Guru melepaskan pekerjaannya, lalu berkemas dan membawa uang 100 tail yang ditabung selama bertahun-tahun, berangkat kearah selatan. Di sepanjang jalan, di malam hari pada saat beliau bermalam di tempat penginapan selalu ada dewa yang memberi petunjuk melalui mimpi. Pada satu malam beliau dapat petunjuk lagi didalam mimpi. “Esok hari, pergilah anda ke suatu gunung, temui Guru Penerang untuk memohon TAO”. Kakek Guru Liu juga bermimpi pada malam yang sama, didalam mimpi itu dewa memberi petunjuk “Esok pagi ada seorang yang sangat bijak datang, pergilah ke muka gunung menyambut dia”.

Esok hari pagi-pagi Kakek Guru Liu pergi ke muka gunung, saat memandang ke jalan, dilihatnya ada seorang yang tubuhnya pendek dan gemuk, mengenakan topi bludru besar yang bundar, badan memakai jaket pendek yang sudah rombeng, memikul barang bawaan di bahu datang menghampiri. Begitu sampai di hadapan Kakek Liu, Kakek Guru Lu langsung bertanya: “Apakah disini ada guru penerang menyebarkan TAO?” Kakek Guru Liu dalam hatinya masih ragu apakah orang ini yang dimaksud dalam mimpi, lalu membuka mulut berusaha bertanya menyelidiki: “Anda juga ingin memohon TAO?” Tetapi memohon TAO memerlukan 100 tail uang perak”. Kakek Guru Lu tanpa ragu menyetujui. Kakek Guru Liu berkata di dalam hatinya: “Aku kata 100 tail baru dapat TAO, sebetulnya adalah kata-kata tidak serius yang kuucapkan. Tapi tak sangka orang ini punya 100 tail ”. Hatinya merasa tidak enak. Lalu mereka pergi ke atas gunung bersiap mengadakan persembahan, akhirnya di bawah sinar pelita suci, Kakek Guru Lu menerima satu petunjuk suci, membukakan kesejatian Tao yang agung. Kakek Guru Lu langsung sadar, mendapatkan sepertinya tidak mendapatkan apa-apa, sebab segalanya di saat itu tersedia semuanya, tak perlu meminjam yang berwujud untuk mengetahui keberadaannya”.

Setelah selesai menurunkan Tao pada Kakek Guru Lu, Kakek Guru Liu berkata: “Tao sudah diturunkan kepadamu! Anda sudah boleh pulang”. Kakek Guru Lu menjawab: “Uang 100 tail itu adalah hasil tabunganku sebagai tentara selama bertahun-tahun semua sudah kuberikan kepada Guru, saya tidak punya rumah untuk pulang, saya ikut Guru membina Tao saja”. Kakek Guru Liu bertanya lagi: “Apa yang bisa anda kerjakan?” Kakek Guru Lu menjawab: “Saya buta huruf, hanya mampu mengerjakan pekerjaan kasar”. “Kalau begitu pekerjaanmu memotong kayu bakar dan memikul air saja”. Kata Kakek Guru Liu. Sejak saat itu tugasnya adalah menanam sayur, memikul air, memotong kayu bakar dan memasak nasi. Kakek Guru Lu menerima semua itu lalu tinggal di tempat kediaman Kakek Liu membina Tao sambil bekerja keras. Kakak-kakak seperguruan yang berpendidikan semua masuk kelas mempelajari Dharma rohani atau melakukan meditasi. Hanya Kakek Guru Lu secara diam-diam menghayati dalam lubuk hati, setiap hari memikul air dan memasak nasi, tanpa ada keluhan dan rasa benci.

Saat Kakek Guru Liu berusia 50 tahun, dalam hatinya berpikir dirinya sudah tua, perjalanan Tao akan berubah. Pada suatu hari, Kakek Guru Liu mohon petunjuk pada BUNDA SUCI, kelak tugas-tugas TAO ini akan diteruskan oleh siapa? Petunjuk BUNDA SUCI berkata: “Orang yang bijak ada dihadapan mata.” Kakek Guru Liu bertanya lagi: “Siapakah orang itu?” “Bila engkau bertanya Buddha Maitreya berada dimana? Dalam kolam sungai Chi telitilah dengan seksama, kepalanya mengenakan topi bludru kulit kambing, memakai pakaian orang biasa, mulutnya mengucapkan kata-kata sejati, selalu mengutamakan kasih dan keadilan, mata membelalak jalan (Lu) terbagi dua, di tengah (Cung) terdapat satu (I) rahasia, matahari dan bulan bersatu (合/He) jagat jadi terang, pekerjaannya (仝/Thung) selalu dijinjing di tangan.” Kakek Guru Liu pada waktu itu masih belum mengerti, maka beliau bertanya lagi: “Siapakah orang itu?” Petunjuk BUNDA SUCI berucap lagi: “Saatnya belum sampai, sulit untuk kau ketahui.”

Kakek Guru Liu tiba-tiba menghayati maknanya, lalu menyuruh semua muridnya mencuci tangan untuk sembahyang, dihadapan altar menyuruh semua muridnya membuka dan mengulurkan tangan untuk diperiksa satu persatu, melihat apakah dalam telapak tangan ada sesuatu yang ganjil. Namun Kakek Guru Liu tidak menemukan 2 huruf ”He Thung “ diatas telapak tangan mereka. Pada saat beliau terdiam bingung, Kakek Guru Lu sesudah mencuci tangannya di dapur lari ke cetya menjulurkan tangannya supaya Kakek Guru Liu memeriksanya sambil berkata: “Telapak tangan murid apakah sudah bersih?” Kakek Guru Liu tidak melihat dengan teliti lagi segera berkata: “Benarkah kau ada itu?” Selang satu masa, Kakek Guru Liu mengumpulkan muridnya dan berkata: “Tao yang agung harus di teruskan, jiwa sejati harus dihayati, kalian semua menerima Firman Tuhan (Thien Ming), Turunlah dari gunung dan tempuhlah hari depan kalian masing-masing!” Semua orang menerima tugas, lalu masing-masing berkemas, ada yang pulang ke rumah, ada yang pergi mengembangkan Tao, hanya Kakek Guru Lu yang hatinya sedih, karena yang lain punya keluarga, namun dirinya sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, kedua orang tuanya juga sudah lama meninggal dunia, hari depan tiada menentu, mau pergi kemana? Lalu beliau meminta petunjuk kepada Kakek Guru Liu: “Murid tidak punya rumah untuk pulang , bolehkah mohon petunjuk kepada BUNDA SUCI?” Kakek Guru Liu memohon BUNDA SUCI hadir di altar. BUNDA SUCI memberi petunjuk: “Kini sudah sampai di akhir jaman stadium ke tiga, dan penyelamatan global telah digelar, sebuah jalan mengaitkan semua gunung-gunung, sungai-sungai diatas bumi. Dengan bahtera suci mengarungi air yang jernih menuju Tung Lu mendirikan basis…” Kakek Guru Lu bertanya lagi: “Ananda harus pergi kemana?” BUNDA SUCI memberi petunjuk lagi: “Berdiam dirilah didalam biara Kwan Im.”

Lalu beliau berangkat menuruni gunung, namun tak tahu harus pergi kemana. Beliau berpikir, biara Kwan Im adalah rumah ibadah kaum padri wanita, aku sebagai kaum pria mana boleh tinggal disana? Lalu beliau pun teringat kampung halamannya masih ada seorang adik perempuannya. Lebih baik ke sana dulu mencari tempat tinggal dahulu. Sampai di daerah Ci Ning, kampung halamannya, lalu mencari alamat adiknya. Tapi begitu ketemu, ternyata sang adik tidak mengenal kakaknya lagi. Karena kakak menjadi tentara dan sudah begitu lama tidak bertemu dan tidak ada kabar berita mungkin sudah lama gugur. Sekarang ini tiba-tiba bertemu, tidak berani saling mengenal. Lalu Kakek Guru Lu bercerita untuk membuktikan jati dirinya, bagaimana sengsaranya kehidupan keluarga sejak kecil, kakak beradik bagaimana mencari sayur di hutan dan banyak hal-hal lain, sang adik baru mengenali kakaknya dan menampungnya untuk tinggal bersama. Adiknya yang telah tua memiliki dua orang anak, adik iparnya bermarga Chen berperangai bodoh dan keras, keadaan rumah tangga juga susah. Saat itu kakak beradik dengan leluasa membicarakan masalah membina dan mengembangkan Tao, masalah penyelamatan umat, bagaikan kembali ke masa lalu, rasanya tidak ingin berhenti. Lalu membuka cetya di rumah, menyelamatkan umat ke mana-mana, demikianlah Tao yang agung secara perlahan-lahan terus berkembang luas. Kemudian kedua anak adik beliau pun menerima Firman mengembangkan Tao, orang menyebut mereka Guru Chen yang besar dan Guru Chen yang kedua.

Pada tahun 1925 masehi, sebelum Kakek Guru Lu meninggal. Karena terserang radang tenggorokan, sehingga tak bisa menelan makanan, beliau sadar bahwa umurnya tidak panjang lagi, sedangkan tugas banyak belum selesai, murid-muridnya juga kualitasnya tidak sama, tidak semua baik, yang sejati dan yang pura-pura sulit dibedakan, kenapa tidak mengambil kesempatan itu untuk menguji mereka? Maka beliau mengumpulkan muridnya dan berkata: “Aku mematuhi semua pantangan-pantangan dan membina diri puluhan tahun, menjalankan tugas sesuai dengan kehendak Tuhan, tapi sekarang ini aku terserang penyakit yang tidak ada obatnya, ini terbukti Tao ini bukan yang sejati. Maka mulai sekarang kalian menempuh jalannya masing-masing, tidak usah bertahan membina Tao”. Lalu beliau memerintahkan koki beli daging sepuluh kati, dimasak dan dibagikan kepada murid-muridnya untuk dimakan bersama. Karena Kakek Guru Lu terserang penyakit radang tenggorokan, tidak dapat menelan makanan. Mereka yang pengertiannya kurang jelas, sebagai tanda taat pada perintah Guru, lalu banyak yang batal sebagai vegetarian, memakan daging, ataupun mundur tak melakukan pembinaan lagi. Hanya Guru kita yang usianya paling muda diantara mereka, mengerti semua ini adalah ujian yang dilakukan Kakek Guru, beliau tidak banyak ribut, mempertahankan kesucian dirinya.

Pada tahun yang sama, bulan 2 tanggal 2 imlek, Kakek Guru Lu mencapai kesempurnaan, dalam usia 76 tahun. Kakek Guru tidak beristri sepanjang hidupnya, berambut putih tapi wajah merah seperti wajah anak-anak. Murid-murid beliau sudah berjumlah ribuan orang, yang merupakan tokoh besar ada 8 orang. Setelah Kakek Guru Lu meninggal dunia, pimpinan Tao jadi kosong, lalu para tokoh memohon kepada roh Kakek Guru Lu untuk hadir di altar memberi petunjuk, Kakek Guru Lu memberikan petunjuk: “Tunggulah 3 bulan, setelah 100 hari, dengan sendirinya akan ada kabarnya.”Belum sampai 3 bulan para tokoh merasa diri masing-masing jasa pahalanya banyak dan kebajikannya tinggi, lalu mereka memohon petunjuk kepada BUNDA SUCI siapakah yang menggantikan kedudukan Kakek Guru Lu. BUNDA SUCI berkata: ”Kalian semua masing-masing memiliki Firman.” Mereka tidak sadar bahwa sejak dahulu kala Firman hanya diemban oleh satu atau dua orang, mana bisa diemban oleh banyak orang, Mereka tidak menghayati kehendak Tuhan, dengan paksa memohon Firman Tuhan, sehingga masing-masing tokoh berdiri sendiri-sendiri, melaksanakan pekerjaannya masing-masing. Setelah itu akhirnya ada yang meninggal, ada juga yang tidak mempunyai tugas yang bisa dilaksanakan.

Hanya Guru kita yang patuh kepada pesan Kakek Guru Lu, tidak berani banyak masalah. Menunggu sampai 100 hari, lalu BUNDA SUCI berkata: “Firman (Thien Ming) dipegang oleh adik Kakek Guru Lu selama 12 tahun.” Kemudian karena situasi mendesak, dengan perhitungan penanggalan masehi dan imlek secara kombinasi, diubah menjadi 6 tahun. Bapak Guru merupakan tokoh yang umurnya paling muda diantara 8 tokoh besar, pengikutnya paling sedikit. Namun selama 6 tahun, tugas yang diselesaikan oleh Guru paling banyak, dan semua dilaporkan kepada adik Kakek Guru (Lau Ku Nai Nai)

Pada tahun 1930 masehi di depan pembakaran dupa “Pa Kua” BUNDA SUCI berfirman, memerintahkan Bapak dan Ibu Guru bersama menerima Firman dan secara formalitas mengikat hubungan suami istri, beliau berdua menerima Firman sebagai Guru Suci generasi ke 18, juga disebut Guru ke 2 di jaman pancaran putih, memimpin kalangan Tao, mengadakan penyelamatan global 3 alam (alam dewa, alam manusia dan alam arwah), melanjutkan tugas-tugas penyelamatan akhir di ujung jaman dan penyelamatan secara global.

Setahun setelah Kakek Guru Lu meninggal, yaitu pada tahun 1926 masehi, bulan 3 tanggal 3 imlek, roh beliau dengan meminjam raga Yang Chuen Ling yang berasal dari propinsi San Si datang ke sebuah cetya di propinsi San Tung di daerah Ci Ning, memberikan penampakan selama 100 hari. Dari mulutnya menurunkan kitab “Cin Kung Miao Tien (Kitab Suci dari Kakek Mas)” dan kitab suci “Mi Lek Cen Cing (Kitab Suci Buddha Maitreya Sejati) untuk umat dunia, dalam waktu yang bersamaan dengan dua tangan sekaligus, memakai tulisan kuno Mei Hoa menulis dua bait syair sebagai berikut: “Angin meniup daun bambu bagaikan naga menarikan cakarnya, hujan menerpa bunga teratai bagaikan burung Hong menganggukan kepala.” Selama 100 hari banyak sekali penampakan yang diperlihatkan, sesuatu yang sangat luar biasa yang tak terpikirkan oleh akal sehat manusia. Sejak dahulu kala ada kata-kata kuno yang mengatakan ayam jago mas berkokok tiga kali, itu maksudnya Kakek Guru akan datang berkunjung sebanyak tiga kali, sekali melalui diri Yang Chuen Ling, kedua kali melalui Thu I Khun bila Ayam Mas berkokok yang ketiga kalinya Kakek Guru akan datang sendiri untuk mempersatukan semua ajaran dan agama, TAO akan tersebar merata, dunia aman sentosa. Setelah kakek guru mencapai kesempurnaan, Lao Mu menganugerahkan gelar : Cin Kong Cu Se.

Bapak Guru bermarga Zhang nama Kuei Seng alias (atas) Kuang (bawah) Pi adalah titisan pecahan roh Buddha Hidup Ci Kung, sebagai Guru Suci generasi ke 2 masa pancaran putih, Guru Generasi ke 18 pada zaman timur periode akhir. Beliau lahir pada tahun 1889 bulan 7 tanggal 19 imlek. Pada saat Guru Suci lahir, pagoda suci “Thien Than” tempat raja-raja bersembahyang kepada TUHAN (Thien) di Beijing terbakar, di langit terlihat hamparan sinar merah, dan Sungai Kuning (Huang He) yang selalu keruh airnya, pada hari itu mendadak jernih sampai terlihat dasarnya, Ini karena cahaya bola api menerangi umat manusia, dan juga pertanda merubah yang keruh (kacau) menjadi jernih (damai sentosa)

Bapak Guru secara lahiriah nampak aneh dibandingkan dengan orang biasa, kepala beliau berbentuk persegi dan rata atasnya, bayangan pada biji mata ada dua, sangat cerdas, bersifat jujur, dilahirkan di keluarga terpelajar turun temurun. Pedoman keluarga sangat baik. Sang ayah yang berwelas asih mendidik Guru Suci kita sejak beliau masih kecil, secara langsung memberikan pendidikan sastra padanya, secara garis besar beliau sudah mengerti akan kitab dan syair, setelah dewasa mencapai keberhasilan, sehingga beliau mempunyai cita-cita besar. Saat berumur 22 tahun, beliau merantau ke Nan Jing, Shanghai, mengikuti paman (suami bibi). Profesi beliau pada waktu itu adalah sebagai perwira. Pada suatu hari, tiba-tiba mendapat kabar ayahnya jatuh sakit berat, beliau meninggalkan jabatan pulang ke tempat kelahirannya. Tidak berapa lama ayahnya meninggal dunia. Setelah melewati hari berkabung, beliau menetap ditempat kelahiran menemani ibunya mengurus karya peninggalan, mempertahankan sifat setia dan bisa dipercaya, sehingga terkenal dan dipuji tetangga di daerah sekitarnya.

Pada tahun 1915, Bapak Guru berusia 27 tahun, bertemu dengan Guru Chu yang sedang mengajarkan ajaran I Kuan Tao dari ajaran Khung-tze, Meng-tze, semula beliau tidak berani begitu saja percaya. Sehingga beliau mempersilahkan ibunya dulu untuk mendapatkan TAO (Inisiasi), untuk menyelidiki dengan jelas dahulu apakah ajaran ini sejati atau sesat baru memastikan keputusannya. Setelah sang ibu mendapatkan TAO dan mempelajarinya, ternyata ajaran itu sesuai dengan kebenaran dan sangat bagus, memiliki manfaat yang besar dalam membantu penegakkan moral dan hati manusia, Guru Suci juga mendengar bahwa ajaran itu dapat menolong arwah orang tua supaya terlepas dari siksaan neraka dan naik ke surga. Karena ayah beliau sudah keburu meninggal, beliau merasa belum dapat berbakti kepadanya, tak dapat dihindari ada penyesalan dalam hati, maka beliau mengambil keputusan untuk mendapatkan TAO supaya kelak dapat membalas budi orang tua. Setelah Bapak Guru mendapatkan Tao, jodoh kelahiran lalu tertampilkan, ketulusan hatinya terus berkembang tanpa ada yang dapat menghalanginya, sejak itu bersama segenap anggota keluarga membina TAO, mendirikan cetya dirumah, mengikuti Guru Chu menjalankan dan membuka ladang Tao baru, mengikat jodoh dengan luas. Dalam beberapa tahun, beliau melintaskan umat sebanyak 64 orang. Karena masa Kakek Guru sudah ditentukan peraturan suci yang menetapkan melintaskan umat sebanyak 100 orang baru dapat mengangkat arwah leluhur satu tingkat di atas, Bapak Guru karena merasa tak mampu melintaskan umat lebih banyak lagi, sehingga merasa sangat risau.

Guru Chu melihat Guru Suci begitu tulus hatinya dan sangat berbakti kepada orang tua, lalu meminta petunjuk Kakek Guru. Kemudian Kakek Guru mohon petunjuk kepada BUNDA SUCI mengatakan: “Dimulai dari orang ini, melintaskan 64 orang di tambah dengan satu jasa, maka siapa yang membina Tao dengan tulus hati, bisa mengangkat arwah leluhur satu tingkat diatas, yaitu arwah ayah dan ibu.” Setelah mencapai kesempurnaan, Ibunda Suci menganugerahkan gelar: Thien Ran Ku Fo

Cong Hua Sheng Mu adalah Patriat ke-18 dari Ufuk Timur. Salah satu Patriat kedua di pancaran putih, bermarga Sun bernama (atas) Su (bawah) Cen, alias Ming Shan (gelar dalam wadah Ketuhanan adalah Hui Ming). Se Mu (Ibu Guru Suci) dilahirkan di propinsi San Tung, kabupaten Tan, pada Dinasti Ching, tahun 1895 (tahun Kuang Si ke-21) bulan 8 tanggal 28, merupakan titisan dari Yue Hui Phu Sa. Sejak kecil, Se Mu mempunyai kesadaran yang tinggi, mempunyai hati welas asih dan suka berpuja bakti Buddha. Selain itu, Beliau mendapat didikan ketat dari keluarga dan mempunyai penampilan sebagai wanita yang anggun.

Pada tahun 1918 (tahun Ming Kuo ke-7), Beliau bertemu dengan Kakek Guru Lu dan mendapatkan Tao. Karena ikrarnya yang begitu besar dan mendalam, beliau giat ingin maju, tidak mau bermalas - malasan sehingga pada tahun 1930 (tahun Ming Kuo ke-19), Se Mu bersama- sama dengan Se Cun menerima Firman Tuhan. Meskipun Beliau berdua disebut suami istri, tetapi tidak melakukan kewajiban sebagai suami istri. Yang Maha Kuasa menurunkan titah bahwa dalam melaksanakan tugas Ketuhanan ini, berdasarkan keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga laki-laki dan perempuan bisa bersama-sama membina dan melaksanakan Tao. Inilah yang disebut dengan Tao diturunkan kepada rakyat biasa. Keluarga rakyat jelata pun bisa sesuai dengan situasi membina diri.

Kehendak Tuhan Yang Maha Esa sukar untuk dilanggar. Kesaksian Para Suci di setiap kelas Sidang Dharma pun menunjukkan bahwa Se Mu mengemban tugas berat. Dengan kesucian hati lebih mementingkan Tao, Beliau mendam-pingi Se Cun melaksanakan tugas pelintasan tiga alam. Selama ribuan tahun, wanita tidak mendapatkan kesem-patan ikut membina diri. Tetapi berkat budi Se Mu, maka kaum wanita juga mempu-nyai kesempatan untuk menda-patkan Tao dan membina diri sehingga budi besar Se Mu ini tidak boleh kita lupakan. Tahun Ming Kuo ke-36 (tahun 1947), tepat di hari perayaan Cong Chiu, Se Cun mencapai kesempurnaan dan Se Mu yang melanjutkan silsilah dari Tao ini, meneruskan tugas sebagai penguasa Tao.

Saat itu, situasi politik sangat kacau dan ujian dari pemerintah datang bertubi-tubi. Wadah Ketuhanan pun mulai goyah. Se Mu demi menolong umat mengurangi bencana, mulai menata kembali wadah Ketuhanan. Maka pada Tahun Ming Kuo ke-37 (tahun 1948), diawali dari kota Cheng Tu, Cong Ching, Se Mu membuka kelas pertobatan (Chan Hui Pan ) di seluruh kota besar di Tiongkok, meneruskan estafet benang emas ini. Tahun Ming Kuo ke-38 (tahun 1949), setelah suhu politik di daratan Tiongkok berubah, Se Mu masih tetap tidak menghindar dari bahaya dan bencana. Beliau diam-diam pergi ke berbagai tempat untuk menenangkan hati umat manusia. Sampai tahun Ming Kuo Ke-39 (tahun 1950), demi meneruskan Firman Tuhan, berangkat dari Kota Shanghai (melewati Kuang Cou dan Macao), Se Mu tiba di Hongkong. Tahun berikutnya, Beliau juga ke Malaysia menyebarkan Tao, melintaskan umat di Asia Tenggara. Tetapi karena kondisi dan lingkungan yang tidak cocok, maka pada tahun Ming Kuo ke-42 (tahun 1953), Beliau kembali ke Hongkong.

Pada tahun Ming Kuo ke-43 (tahun 1954), di bawah pengaturan Maha Sesepuh Han ( Bai Shui Shen Di ), akhirnya Se Mu dipindahkan ke Taiwan, menetap di Kota Thai Cong. Selama di Taiwan, ujian pemerintah masih tidak henti-hentinya berdatangan. Se Mu tidak tega melihat umat manusia dan murid-murid-Nya menerima penderitaan, hinaan dan siksaan. Maka Beliau berikrar untuk menanggung bencana dan penderitaan umat manusia. Sepanjang tahun tidak ke luar rumah, mengurung diri dari duniawi, memikul dosa umat manusia sehingga ujian dari pemerintah pelan-pelan mereda. Sampai dengan tahun Ming Kuo ke-52 (tahun 1963), ujian datang lagi. Maka Se Mu memohon welas asih Lao Mu (Ibunda Suci) dengan puluhan ribu sujudan untuk meniadakan ujian iblis, beliau rela seorang diri menanggung dan memikul segala bencana. Karena menanggung begitu banyak ujian iblis, kesehatan Se Mu semakin hari semakin menurun. Akhirnya, pada tahun Ming Kuo ke-64 (tahun 1975), bulan 2 tanggal 23, di tengah-tengah hujan petir yang dahsyat bersahutan, semua makhluk di antara langit dan bumi berduka karena seorang nabi pada jaman itu telah mencapai kesempurnaan, tutup usia pada usia 81 tahun.

Se Mu menetap di Taiwan selama 21 tahun dan memberikan segenap jiwa raganya demi kelancaran pelaksanaan Tao. Karena budi besar Beliau melindungi umat manusia, maka Lao Mu memberi gelar kepada Beliau Cong Hua Sheng Mu

Lao Chien Jen (maha sesepuh) bermarga Han bernama (atas) En (bawah) Rong. Juga bernama Yi Lin, alias Cie Ching alias Cie Ching. Beliau dilahirkan di propinsi He Pei, kabupaten Ning He. Pada usia tua, menyebut dirinya sebagai Pai Shui Lao Jen. Beliau dilahirkan pada tahun 1901 bulan 3 tanggal 22. Tahun 1995 (tahun Ming Kuo ke-84), bulan 1 tanggal 26, Beliau mencapai kesempurnaan, tutup usia pada umur 95 tahun.

Lao Chien Jen dilahirkan pada saat negara sedang kacau. Pada waktu lahir, bersama dengan ibunya, Beliau pindah ke rumah kakek untuk menghindar dari kekacauan. Sejak dilahirkan, Lao Chien Jen sudah mempunyai hati berbakti kepada orang tua dan sangat pandai. Beliau rajin, hemat dan telah memahami budi pekerti mulia lainnya. Sejak kecil Lao Chien Jen sudah pandai membaca Se Shu (4 Buku) dan Wu Cing (5 Kitab Parita), telah memahami inti sari dari kebudayaan Tiongkok.

Ketika berusia 17 tahun, Lao Chien Jen keluar dari Kota Thien Cin untuk belajar berdagang. Dengan se-kuat tenaga, Beliau membuka pabrik tenun Ta Te Long, dan mendapat perhatian yang besar dari pengusaha yang lain. Saat berusia 20 tahun telah menjadi manajer. Usia 26 tahun menjabat sebagai direktur utama yang memiliki 400 orang lebih buruh. Usaha Beliau berkembang pesat dan terkenal di Tiongkok Utara.

Tahun Ming Kuo ke-27 (tahun 1938), karena terlalu lelah, Lao Chien Jen mengidap penyakit paru-paru stadium ke-3. Para dokter, baik dari luar maupun dalam negeri, menyatakan tidak berdaya menyembuhkan penyakit tersebut. Setelah melalui nasehat dari Tuan Sun Lan Fang, Beliau pergi memohon Tao. Pada bulan 7 tanggal 27, di Kota Thien Cin, Beliau menda-patkan Tao. Selanjutnya, berkat kesaksian dari Buddha Hidup Ci Kong, Lao Chien Jen mendapatkan petunjuk dan di dalam lubuk hati berikrar, Kalau penyakit saya sembuh, maka pekerjaan dan keluarga akan saya tinggalkan, dan sepe-nuh hati membantu Tuhan Yang Maha Esa melaksanakan Tao. Maka sejak hari itu, penyakit Beliau tanpa diobati, sembuh dengan sendirinya. Dan segera mengorbankan diri untuk melaksanakan Tao. Sepenuh hati menuruti kehendak Tuhan.

Tahun Ming Kuo ke-30 (tahun 1941), Lao Chien Jen menerima Firman Tuhan menjadi TienChuan Se, sepenuh tenaga melindungi dan mendukung Guru Penerang membuka ladang. Tahun Ming Kuo ke-37 (tahun 1948), Beliau sebenarnya ingin pergi ke Si An membuka ladang. Tetapi karena Beliau mendapat nasehat dari Ibu Guru Suci, maka pada bulan 7 tanggal 8, Beliau berbalik menuju ke Taiwan membuka ladang. Namun pada tahun Ming Kuo ke-38 (tahun 1949), situasi di daratan Tiong kok berubah sehingga kabar berita antara Taiwan dan daratan Tiongkok terputus. Kehidupan juga memasuki masa sulit. Bahasa untuk berkomunikasi juga mengalami kendala. Tempat dan manusianya masih asing. Selain itu, ujian dari pemerintah tidak pernah berhenti. Namun, Lao Chien Jen dengan kekuatan yang luar biasa menghadapi fitnahan dan gosip, mengalami banyak penderitaan. Selama 40 tahun karena terlalu lelah, sudah beberapa kali penyakitnya kambuh. Beruntung banyak umat dengan tulus memohon kepada Ibunda Suci untuk menambah usia Beliau sehingga Beliau bisa sehat kembali.

Lao Chien Jen seumur hidup berkorban, berkontribusi untuk umat, sekuat tenaga sepenuh hati sampai titik darah yang terakhir. Beliau telah membimbing sangat banyak umat pengikut, menyempurnakan banyak wadah Ketuhanan. Pada hari raya tahun baru Imlek, tahun Ming Kuo ke-84 (tahun 1995), Lao Chien Jen merasa kondisi tubuhnya mulai menurun, Beliau memahami jasa pahalanya mungkin sudah sempurna, sudah saatnya berpisah untuk selama-lamanya sehingga orang yang mendengarnya mencucurkan air mata.

Pada tahun Ming Kuo ke-94 (tahun 2005) di musim semi, umat pengikut Beliau memohon petunjuk. Beliau hadir mengikat jodoh di Fo Thang melalui peminjaman raga dengan gelar Pai Shui Sheng Ti. Nama harum seorang nabi pada zamannya tersohor selama-lamanya. Semangatnya akan selamanya diteladani oleh umat di dunia.

Qien Ren bermarga Chen bernama (atas) Hong (bawah) Zhen. Nama kecil YingRu. Lahir pada tahun 1923, imlek tanggal 23 bulan 10, di kota Tian Jin pada tahun 2007, imlek bulan 11 tanggal 29, mencapai kesempurnaan pada usia 85 tahun. pada usia 17 tahun, QianRen memohon Tao, lalu mempelajari makna Tao selama beberapa tahun, menyadari Tao yang agung merupakan metode tertinggi untuk melampaui duniawi mencapai kesucian surgawi, maka tergugahlah hatinya membina diri dan menjalankan tugas suci dan melintas umat. Saat usia 25 tahun, LaoQianRen (Maha Sesepuh) sedang memilih kader untuk membuka ladang di Taiwan. Pada tahun 1947, beliau ikut pergi ke Taiwan, Pada tahun ke 2, karena tidak dapat beradaptasi dengan kondisi setempat, beliau pulang ke kampung halaman untuk menyembuhkan penyakit, namun beliau tidak lupa ikrar besar hendak menolong dunia dan umat. Pada tahun 1948, bulan 8, beliau datang kembali ke Taiwan membuka ladang menyebarkan Tao. Tahun 1949, daratan Tiongkok dan Taiwan putus hubungan, sejak saat itu, beliau menjadikan kalangan Tao sebagai rumahnya.

QianRen mengalami bermacam-macam kesulitan dan gemblengan, bersusah payah membabat alas membuka jalan. Ketulusannya mengharumkan Tuhan, sehingga Dewa-Buddha dengan welas asih memberikan bantuan tiada batas. Dari vihara ChongXiuTang di kota DouLiu sebagai Fondasi, lambat laun membangun kalangan Tao di daerah kota YunLin, ZhangHua, TaiPei, TaiChung, MiaoLi, KaoSiong, TaiNan, 7 kalangan Tao. Pada tahun 1976, membuka ladang Tao ke laur negri, di antaranya Jepang, Singapura, Malaysia(Kuala Lumpur), Thailand (Alu Sutak), Amerika (Los Angeles), 6 Kalangan Tao, serta pusat kegiatan Tao di beberapa tempat, karya Tao meliputi 5 benua di dunia. Pikiran bakti QianRen tak pernah padam, beliu meniru semangat ayahnya, mendirikan "Perkumpulan Yang Menyantuni Rakyat Jelata".secara umum mendirikan ChongDe, ChongRen, ChongLi, ChongYi, GuangHui, 5 Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan di Taiwan. Untuk menggalakkan semangat sifat suci dan bakti, membagikan beasiswa, memberikan motivasi kepada pelajar, melakukan pembinaan ahklak kebajikan. Masing-masing yayasan beberapa kali terpilih oleh departemen pendidikan sebagai organisasi yang berjasa dalam usaha mendorong pendidikan di masyarakat.

QianRen bersama dengan pendahulu di grup lain juga membantu LaoQianRen (Maha Sesepuh) mendirikan Panti Jompo dan Panti Asuhan, serta kegiatan sosial lainnya yang bertujuan menyejahterakan masyarakat. Apalagi mahasiswa kejuruan yang jiwanya terpanggil untuk terjun barisan membina dan menjalankan Tao, ada jutaan orang banyaknya. Di seluruh negri, ratusan sekolah pun telah mendirikan perkumpulan vegetarian, berhasil menyempurnakan banyak pemuda pelajar. Demi supaya kaum muda mau membina Tao, tidak mengalami hambatan dan rintangan. QianRen bersama para pendahulu di grup lain, aktif berjuang agar "I Kuan Tao" bisa mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Akhirnya pada tahun 1988, berdirilah pusat organisasi I Kuan Tao di Taiwan, selanjutnya beliau sangat aktif memberi perhatian serta petunjuk dan bantuan terhadap berdirinya cabang-cabang di grup lain, dan sepenuh tenaga membimbing pengikut muda untuk maju. Belisu juga membantu Zhang Pei Cheng Lao Qian Ren untuk memajukan karya Tao berskala dunia, atas bantuan dan perhatian beliau yang tanpa pamrih terhadap grup lain, membuat beliau di cintai dan di hormati semua orang.

Kembali kepada masyarakat pula, membantu pemerintah, terjun dalam segala kegiatan amal, sering dititipi pemerintah untuk mengatur upacara. Memberi penghargaan kepada ayah teladan, perayaan bersama organisasi rakyat saat tahun baru imlek, malam amal dan bazar amal menghimpun dana untuk membantu kaum cacat persendian punggung agar bisa berdiri, dan lain-lain. Sepanjang tahun, beliau juga membantu segala kegiatan kerja bakti, terjun memantau dan membimbing aktivisnya, masuk ke sekolah-sekolah mengatur acara camping, menggagas pola hidup sehat dan cerdas. Peranan beliau mendapat pengakuan dan pujian dari pemerintah, sehingga menganugerahkan beliau "MEDALI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT", piagam "8 KEBAJIKAN UNTUK ORANG BAIK DAN BERBUAT BAIK", piagam individu "BERJASA MENDORONG KEGIATAN PENDIDIKAN MASYARAKAT", "MEDALI PERTAMA HUA SIA", "MEDALI BINTANG TERANG" dari negara, baik pemerintah maupun segenap lapisan masyarakat menghormati dan menyanjung beliau. QianRen mengikuti firman SeCun-Bapak Guru & SeMu-Ibu Guru, mewarisi karya agung LaoQianRen-Maha Sesepuh, membimbing dan menyempurnakan para kader kalangan Tao yang tak terhitung banyaknya. Seumur hidup dengan ketat menuntut dan menjaga disiplin diri, dengan semangat "sabar-terbaik-hormat-hemat-mengalah, berbuat nyata untuk mencerminkan Tao. Sering hilir mudik di dalam maupun luar negri, melepas rindu kepada jutaan pengikut, serta umat yang tak terkira banyaknya. Begitu susah payah mengelola, berwelas asih memimpin, seumur hidup mengorbankan diri untuk kalangan Tao. Datang ke Taiwan menjabarkan Tao selama 60 Tahun, setulus hati meniru Bodhisatva Kuan Im, maha pengasih dan maha penyayang, membimbing pengikut hingga mencapai kesucian sebagai "ZhenJun, TaXian" banyaknya tak terhitung. Sepanjang hidup QianRen membawakan topik "BAKTI", berhasil menyadarkan umat yang tak terkira banyaknya. Setelah mencapai kesempurnaan, Lao Mu menganugrahkan beliau gelar suci sebagai Pu Siu Si Pu Sa (Bodhisatva Tak Istirahat)

Pandita Huang meneladani pembinaan dari Pai Sui Sen Ti (白水聖帝) dan Pu Siu Shi Phu Sa (不休息菩薩), dengan mengorbankan masa usia muda dan urusan duniawi, datang ke kota Medan untuk tujuan suci dan mulia, yaitu menyadarkan anak-anak Tuhan dari kemelekatan duniawi, memberikan bimbingan moralitas dan kebajikan luhur, sehingga beliau rela dan ikhlas untuk menerima dan melewati banyak cobaan, halangan, kesulitan semasa penyebaran Ajaran Ketuhanan di kota Medan.

Hingga akhirnya pada tahun 2002, pada suatu kelas pengulangan dharma (複習班) di Vihara Mestika Abadi (正寶佛壇), Jalan Kapten Jumhana No. 439-C – Medan, salah satu dari 8 Dewa, yaitu : Lan Chai He Ta Sien (藍采和大仙), meminjam raga dan menyampaikan welas asih dari Tuhan Yang Maha Esa, bahwa ada sebidang tanah besar yang telah disiapkan oleh Tuhan pada Pengurus Vihara untuk didirikan sebagai Maha Vihara, dengan persyaratan adalah kekompakan dan kesatuan hati dari Pengurus Vihara. Mendengar wejangan suci dari Lan Chai He Ta Sien dan welas asih dari Tuhan, maka mulai pada saat itu, semua Pengurus Vihara dan Umat bersatu hati serta kompak untuk memulai melaksanakan pembinaan diri yang lebih baik, serta dimulailah melaksanakan kegiatan-kegiatan penggalangan dana untuk tujuan Pembangunan Maha Vihara Mestika Abadi (正寶佛院). Kemudian untuk dapat menjalankan fungsi dan tujuan mulia Ajaran Ketuhanan yang lebih terarah sesuai hukum dan aturan yang berlaku di Negara Indonesia maka pada 10 Juli 2009, didirikanlah Yayasan Mestika Abadi.

Akhirnya pada tahun 2009, Pengurus Yayasan Mestika Abadi, berhasil menemukan sebidang tanah seluas 2.560 meter persegi di Titipapan, Medan Marelan, yang sangat cocok untuk didirikan Maha Vihara Mestika Abadi. Pada 19 Desember 2009 mulai dilaksanakan perletakan Tiang Pertama pada tanah yang akan dibangun Maha Vihara Mestika Abadi, pembangunan dilaksanakan secara berkesinambungan hingga akhirnya pada 6 Oktober 2013 dapat dilaksanakan Upacara Pentakhtaan Rupang Buddha dan Soft Opening Maha Vihara Mestika Abadi.Sejarah ini, adalah sebuah kisah nyata yang memberitahukan pada kita bahwa sebuah Visi dan Misi Suci Ketuhanan dapat tercapai dengan kekompakan dan kesatuan hati dari setiap umat, pengurus vihara, pengurus yayasan, dukungan masyarakat serta rahmat karunia dari Tuhan dan para Buddha, Bodhisattva dan Mahasattva. Pada awal penggalangan dana, kita hanya mendapat petunjuk suci dari Dewa Lan Chai He, yaitu telah disiapkan sebidang tanah untuk dibangun menjadi Maha Vihara, walaupun pada saat itu, kita belum tahu letak tanah yang telah disiapkan oleh Tuhan untuk kita, asalkan keyakinan hati kita pada welas asih Tuhan dan para Buddha, Bodhisattva dan Mahasattva, maka kenyataan tersebut dapat kita wujudkan bersama. Kita tentunya sangat bersyukur dan berterima kasih atas rahmat karunia Tuhan yang telah membuat kita berhasil mendirikan Maha Vihara Mestika Abadi, kita juga sangat berterima kasih pada semua pengorbanan diri, pengabdian dan bimbingan yang telah diberikan oleh Pandita Huang sehingga kita dapat menjalani pembinaan dengan hati yang bahagia di era Pancaran Putih, menunaikan ikrar suci dan melunasi hutang karma.

Dengan demikian, kegiatan di bidang Keagamaan Buddha sebagai salah satu maksud dan tujuan dari pendirian Yayasan Mestika Abadi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Selanjutnya, sebagai balas budi karunia Tuhan dan melanjutkan Misi Suci Chong De (崇德) serta Ikrar Agung dari Pu Siu Si Phu Sa不休息菩薩(Unrest Bodhisatva) yaitu : menciptakan masyarakat yang damai sentosa, sehingga setiap orang memiliki tata krama, setiap keluarga melaksanakan bakti, sesuai dengan tradisi dan tata krama mulia, mengubah suasana masyarakat menjadi baik, serta melanjutkan pengembangan dan pelaksanaan Misi Suci Ketuhanan yang lebih baik dimasa mendatang, maka Pandita Huang menyampaikan sebuah cita-cita mulia untuk mendirikan Sekolah dan Panti Asuhan. Tentunya hal ini, sangat sesuai juga dengan kegiatan yayasan di bidang Sosial, yaitu : Menyelenggarakan Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah) dan Panti Asuhan. Oleh karenanya, Pengurus Yayasan Mestika Abadi mengajak umat sedharma, seluruh lapisan masyarakat, untuk bersama-sama kembali mengembangkan hati mulia, mensukseskan cita-cita luhur dari Pandita Huang, yaitu : Pembangunan Sekolah dan Panti Asuhan.